THE SAD WORDS OF LEAVING




Malam itu seperti biasa aku bangun untuk menikmati sinar bulan. Sudah lama aku biasa terjaga pada jam-jam seperti ini, untuk sekedar duduk di tengah taman dan mendengarkan simfoni suara serangga dan katak yang bersahut-sahutan. Aku juga suka menikmati cahaya keperakan bulan dan bintang yang membuat embun terlihat berkilauan di ujung-ujung daun dan rerumputan. Kukira inilah salah satu keuntungan tinggal di pinggir kota seperti ini, ketika cahaya langit belum tercuri oleh lampu-lampu listrik manusia, dan hewan-hewan belum terusir oleh gegap gempita kota.

Tapi malam ini rutinitasku agak terganggu. Sebab saat aku bangun, mendung yang tak mau tahu dengan jadwalku tampak menggantung berat. Dan tetesan-tetesan ringan sang hujan sepertinya telah mengusir para hewan sedari tadi. Jadi aku hanya bisa duduk termangu di depan rumah, mendengarkan irama rintik-rintik hujan yang menina bookan.

Tapi saat aku mulai mengangguk terkantuk-kantuk, telingaku mendengar suara yang tidak biasanya terdengar olehku. Sayup tapi aku yakin telingaku tidak salah. Suara itu benar terdengar di sela-sela desir dedaunan dan tetesan air.

Denting piano yang melantun dengan syahdunya. Moonlight Sonata karya Beethoven. Dimainkan dengan sempurna oleh seseorang di suatu tempat. Anehnya, sonata itu juga terdengar begitu sendu, seakan menyampaikan perasaan halus sang pemusik misterius.

Denting piano itu terasa begitu indah skaligus penuh emosi, hingga mau tak mau aku tergerak untuk mencari siapakah orang yang memainkan piano dengan begitu sempurna di tempat terpencil seperti ini. Tanpa mempedulikan rintik hujan yang membasahi, aku berjalan, hanya dipandu oleh telingaku yang mendengar dan hatiku yang merasa.

Dan perlahan, aku tiba di tempat asal suara. Sebuah rumah indah di puncak bukit. Setahuku, selama ini rumah itu kosong tanpa penghuni. Tapi malam ini, jendela rumah itu nampak bercahaya muram. Dan denting nada-nada indah terus mengalun dari salah satu kamar di rumah itu. Tanpa mempedulikan peringatan otakku aku berjalan mendekat, menuju satu-satunya kamar yang bercahaya di rumah yang luas itu. Tempat nada-nada itu mengalun.

Dalam diam aku menyibakkan gorden sutra halus yang menutupi jendela besar tak berteralis itu. Dan di tengah ruangan yang disinari cahaya temaram dari lampu kristal di atap yang tinggi di atas, seorang gadis nampak memainkan sebuah piano tua nan berdebu.

Betapa ironis, dan anehnya juga sangat sesuai, pikirku saat aku semakin dekat dan nada-nada itu semakin terdengar jelas. Sonata piano tentang malam yang disinari cahay bulan. Melantun syahdu dan begitu romantis. Saat sang bulan sendiri tak kelihatan dan tersembunyi di balik gulungan awan hitam.

Aku begitu terhanyut dalam pikiranku sendiri dan permainan piano gadis itu, sampai-sampai aku tak sadar kalau alunan musik telah berhenti. Saat aku terlepas dari lamunanku, aku baru menyadari kalau gadis itu sedari tadi memandangiku dengan ekspresi misterius.

Gadis itu begitu cantik, denga rambut hitam panjang yang bergerak bagai sutra halus saat dia menggerakkan kepalanya yang indah. Dan kulitnya yang putih seakan menyatu dengan gaun satin tipisnya di remang-remang cahaya malam ini.

Hening selama beberapa sebelum aku memberanikan diri membuka percakapan.

“Maaf… aku tidak bermaksud mengagetkanmu,” kataku, masih dari balik jendela. “aku tinggal di bawah bukit, dan permainan pianomu terdengar begitu indah sehingga aku seakan terpanggil ke sini.”

Gadis itu tersenyum dengan sangat halus, nyaris tak kentara. “ Terima kasih atas pujiannya,” katanya dengan suara lembut. Dia tidak terlihat takut sedikitpun, meskipun seorang cowok misterius tiba-tiba muncul di jendela rumahnya.

Untuk beberapa saat dia hanya duduk di depan piano tua itu, termenung tanpa suara. Akupun kembali memberanikan diri. “Aku sudah beberapa lam tinggal di daerah sini,” kataku. “Selama ini aku tidak pernah tahu kalau rumah ini ditempati.”

Entah kenapa aku merasa gadis itu terlihat bagaikan dari dunia lain. “Ini villa keluargaku,” katanya. Suara yang lirih nyaris semerdu suara piano yang dimainkannya tadi. “Villa ini memang jarang ditinggali.”

Aku baru sadar, ternyata hujan telah berhenti sejak tadi. Dan cahaya bulan purnama yang masuk melalui sela-sela awan. Saat dia beranjak dari tempat duduknya, entah kenapa kau begitu takut dia akan pergi begitu saja sehingga mataku terus mengikuti gerakan tubuhnya yang anggun dan ringkih. Ternyata dia hanya berpindah ke beranda. Kini dia duduk memeluk lutut, menatap ke langit malam yang dipenuhi jutaan bintang yang berkelap-kelip. Langit malam selalu paling indah tepat setelah hujan.

Tanpa suara aku mengikutinya ke beranda rumah tua itu. Aku duduk bersandar di sebelahnya dan ikut menikmati suasana malam. Sepertinya dia tidak keberatan sedikitpun dengan gangguan dariku, meningat kami tidak saling kenal sedikitpun. Aroma harum seorang cewek menyebar dari tubuhnya. Sudah begitu lama aku tidak mencium aroma seperti ini.

Untuk beberapa saat, kami hanya diam, menonton suasana malam dan mendengarkan hembusan angin dan paduan suara serangga. Sampai tiba-tiba dia memulai percakapan.

“Kau percaya dengan cinta sejati?” tanyanya dengan suara yang lembut.

Pertanyaan itu begitu tak terduga sehingga aku tak mampu menjawab apa-apa. Tapi sepertinya gadis itu tak memperhatikannya. Dia hanya menatap bulan purnama yang bergantung dengan indahnya di langit malam, seakan tadi dia bicara dengan dirinya sendiri.

“Bagaimana pendapatmu tentang orang yang mati demi cinta?”

Pertanyaan yang diajukannya dengan nada kausal itu sama tiba-tibanya dengan pertanyaan pertama, sehingga awalnya aku juga tak bisa menjawab. Tapi aku merasa dia menunggu jawabanku, sehingga aku terpaksa berpikir sejenak di tengah malam bulan purnama itu.

“Memang kedengerannya romantis…” kataku setelah diam cukup lama. “Tapi sejujurnya, bagiku itu terdengar egois.”

“Egois?”

“Yeah, bagiku itu egois. Hanya memikirkan perasaan sendiri. Kematian bukanlah penderitaan bagi yang mati, tapi penderitaan bagi yang hidup.”

Aku memandang ke langit yang tampak meniggi setelah hujan, sebelum melanjutkan. “Mereka yang mau mati begitu saja harus memikirkan bagaiman perasaan mereka yang ingin hidup tapi tak bias. Apalagi, perasaan mereka yang ditinggal hidup. Apa mereka kira, orang yang mereka bilang mereka cintai itu akan bangga kalau ada orang yang mati demi mereka?”

Kemudian aku tertawa kecil mendengar kata-kataku sendiri. Tidak biasanya aku brbicara seperti ini. “Lagipula,” kataku sambil tersenyum kepadanya. “Hidup itu penuh kemungkinan. Siapa yang tahu, kalau tiba-tiba kita merasa ternyata semua masalah kita kemarin bagaikan lelucon saja, atau malahan, tiba-tiba kita mati begitu saja tanpa perlu repot-repot bunuh diri.”

Gadis itu tertawa kecil. “Kau orang yang menarik,” katanya, entah kenapa terlihat jauh lebih cantik dari sebelumnya kini. “Kalau saja… kita bertemu sedikit lebih cepat.”

“Aku yang seharusnya berkata begitu,” kataku sambul tersenyum. Sementara, serangga dan hewan malam memulai kembali orkestra merekayang sempat terhenti oleh hujan.


* * *


Matahari yang terbit beberapa jam yang lalu telah mulai menguapkan embun-embun terakhir dari rerumputan. Sinarnya yang hangat perlahan mulai menyusup melalui jendela, membangunkan sesosok gadis yang tampak tertidur di depan sebuah piano tua.

“Chika!” Terdengar suara bernada khawatir bercampur lega. Dari pintu ruangan, seorang gadis lain nampak menghambur masuk dan memeluk wanita yang baru saja terbangun itu.

“Syukurlah kamu tidak apa-apa. Aku sudah merasa kalau kamu pasti ada di sini. Karena… tempat terakhir yang akan dikunjungi keluarga kita adalah rumah ini…”

“Kakak…” Gadis yang dipanggil Chika itu hanya diam selama beberapa saat, sebelum tersenyum lemah dan melingkarkan tangannya di pundak kakaknya.

“Aku sudah tidak apa-apa…Maafkan aku sudah membuat khawatir,” katanya pelan.

Dia melepaskan pelukan kakaknya dan menatap ke luar jendela. “Seorang yang tinggal di bawah memberiku semangat…Mungkin akan butuh waktu sampai aku bias melupakannya, tapi aku akan mencoba betahan…”

Chika tersenyum dan menumpukan tangannya ke kusen jendela, memandang pemandangan luas dari puncak bukit.

“Syukurlah…” kata kakaknya sambil melilitkan selimut pada Chika yang hanya mengenakan gaun tipis.

“Tapi…Chika, siapa yang kamu bilang tinggal di bawah? Di bawah sana, hanya ada kuburan…”